Syariah
merupakan system hukum yang tak bisa terbantahkan bagi seorang muslim, sebagi
wujud penghambaan pada perintah Allah dan ketundukkan nya kepada islam. Namun,
kadangkala ada kontradiksi antara kepatuhan pada syariah dengan produk syariah
di perbankan islam. Padahal, semestinya perhatian terhadap prinsip syariah pada
sebuah perusahaan dan entitas syariah, haruslah didahulukan lebih awal. Baru
kemudian berpindah pada fokus pengembangan dan reputasi. Kenyataannya bahwa, sekarang
ini perbankan konvensional mengklaim dirir mereka bahwa mereka lebih baik dan
memiliki track record yang terpercaya dalam memberikan keuntungan bagi nasabah.
Terlebih lagi, mereka memiliki dukungan dan sokongan dana yang cukup kuat dan
telah mengakar dalam perekonomian. Maka untk melihatnya, bisa dibandingkan
total aset bank islam terbesar saat itu di tahun 2007, yaitu Meli Iran sebesar
$34 Miliar dan bank Al Rajhi yaitu sebesar $33,4 Milliar, akan terlihat
perbanfingan yang jauh. Sebaliknya, bank konvensional terbesar yaitu Royal Bank
Of Scotland dengan total asset di tahun 2007 hampir mencapai $ 4 triliyun,
diikuti kemudian Deutsche Bank, BNP Paribas, Barclays, HSBC, Credit Agricole,
Citigroup, dan UBS yang memiliki asset melebihi $2 triliyun.
Prinsip ekonomi islam:
1.
Prinsip tidak berlebih-lebihan (I’tidal)
2.
Prinsip efisiensi (al-kifayah)
3.
Prinsip keadilan sosial (al-‘adalah
al-ijtima’iyyah)
Kini,
produk syariah telah memenuhi neraca bisnis bank konvensional. Namun, patut
diperhatikan bahwa prinsip bagi hasil itu berbeda dengan riba murni yang
berasal dari pembiayaan. Karena ternyata, banyak bank konvensional yang
berinovasi dengan menciptakan produk syariah dengan cara perolehan konvensional.
Sehingga nilai-nilai syariah tidak benar-benar dijaga dalam praktiknya. Produk
buatan yang terlihat lebih menguntungkan dan menarik bagi investor atau nasabah
untuk berinvestasi di perbankan konvensional. Dengan kata lain, akhirnya perbankan
syariah yang harus berpayung pada prinsip syariah, sering tejebak dalam
persimpangan jalan karena mereka harus lebih memutar otak agar memiliki produk
yang lebih mampu bersaing dengan produk perbankan konvensional yang mampu dilirik
calon nasabah maupun investor. Bahkan akhirnya, membuat bank syariah melupakan
prinsip kepatuhan syariah. Maka, harus diungungkapkan bahwasannya diperlukan
pemurnian institusi syariah selain memperbaiki produk mereka, namun juga cara
pandang mereka melihat pandangan syariah. Baik yang sesuai dengan prisip
kepatuhan syariah yaitu objek barang yang halal dan pembagian hasil yang sesuai
dengan prisip syariah.
Peningkatan
produk dan peningkatan pembiayaan syariah
Syariah
adalah suatu konep hukum yang berasaskan quran dan sunnah, yang didalamnya
sudah mengatur politik, ekonomi, dan hubungan bersosial. Syariah memiliki dua
sisi yang bersebrangan “wahyu dan akal”. Oleh karenanya, dalam pengambilan hukum
syariat jelas diperlukan dua sisi tersebut yang saling menyokong, wahyu yang
menyampaikan aturan dan akal yang mempercayai dan mengamlkannya dalam
kehidupan.
Syariat
islam bersandar pada tuntunan hidup yang tertuang dan tertulis dalam alquran
dan telah diamalkan oleh rasulullah dalam sunnah. Proses interpretasi pada
hal-hal yang tak diatur dalam quran dan sunnah disebut ijtihad,
dan hasil dari ilmu dalam memhami proses ijtihad
ini adisebut fiqh, yang mana berbeda
dari jalan syariah, dimana wahyu yang berdasar pada kebijaksanaan manusia
berdasar pada ketidak pantasan dan kepantasan, yang terbangun sesuai dengan wahyu. Ibnu taimiyah
pernah berfatwa dalam legalitas sewa-menyewa, dimana didalamnya merefleksikan
bagaimana suatu instrument dapat diperkenalkan dan bagaimana cara mendapatkan
barang tersebut. Karenanya, asumsi daripada tiap kontrak pun turut dirubah oleh
syariat dengan mengenalkannya pada kosep yang mungkin sekilas terlihat tak jauh
beda, namun prinsip dasar dan tujuannya
yang membedakan. Seperti pada kasus perdagangan, pernbankan, pembiayaan,
asuransi, pasar modal Oleh karenanya, pengembangan dan perluasan produk syariah
dituntut untuk kembali bertujuan pada tiga hal berikut :
1.
Istihsan
(modal)
2.
Maslahah
(kepentingan bersama)
3.
‘urf
(adat istiadat)
Contoh
saja Istihsan yang dahulu adalah Ba’i salam, dimana kontrak tersebut
menunda kedatangan barang, namun berlawanan dengan ‘aqd yang mana haruslah menghadirkan objek barang pada saat itu
juga. Menurut madzhab Hanafi Istihsan dibolehkan namun, kebolehan ini hanya pada
konteks tertentu. Seperti contoh, praktek Istihsan
pada perbankan syariah adalah bagaimana memberikan bagi hasil pada pemilik
modal. Dalam prinsipnya, dividen haruslah berdasarkan nilai modal yang sesuai
bagi tiap pemilik modal. Akan tetapi, pemberian rasio dividen biasanya berdasar
pada harga awal, bukan dari harga pasar dimana saat dividen tersebut diakui
oleh perusahaan. Inilah dasar dari prinsip akuntansi yang menghadirkan akad
syariah seperti Mudarabah dan Musyarakah. Akad ini dinilai lebih mudah
diaplikasikan dan nyaman untuk digunakan di pasar saham. Prisip lainnya yang
menghadirkan diperbolehkan suatu akad syariah adalah Maslahah. Seperti contoh, persetujuan penjualan dan pembelian
adalah berdasar prinsip Maslahah,
dimana syariah mendukung adanya konsep penjagaan atau yang bisa disebut konsep Maqoshid Syariah. Dari sini dimaksudkan,
bahwa pengembangan suatu produk haruslah berdasarkan faktor-faktor yang saling
mendukung yaitu kebutuhan pembeli, syarat yang terpenuhi, dan revolusi industri
lain.
Kombinasi
kontrak penjualan dan penyewaan meski sebenarnya kedua kontrak tersebut
terpisah dimana, kombinasi kedua kontrak ini pun tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah dalam perniagaan islam. Namun, produk ini tetap mendapatkan
kebolehan dalam prinsip syariah. Contoh lain, adalah Musharakah Mutanaqisoh, dimana produk ini menggabungkan Musharakah dan Ijarah, dimana nasabah dan pemilik modal bersinergi dalam untuk
membeli suatu property dengan akad musyarakah
melalui sistem penebusan dengan pemilik modal. Tujuan dari ini adalah guna
menjembatani keinginan nasabah yang bermodal kecil dalam pembiayaan untuk
memiliki property, dan keinginan investor untuk mendapat keuntungan dari
dananya yang diputar.
Kepatuhan
syariah vs produk berbasis syariah
Para
investor muslim kini mulai sadar akan pentingnya prinsip syariah yang melekat pada
suatu produk. Karena itu menyangkut, kehalalan atas perolehan keuntungan yang
didapat. Namun, seringkali Ada beberapa kesulitan dalam mengidentifikasi secara
teoritis antara konsep syariah dan produk kepatuhan syariah, berikut adalah
perbedaannya :
1. perspektif
Asset
2. inovasi
produk
3. distribusi
keuntungan
Dalam
konsep syariah, aset digunakan sebagai objek transaksi, tidak hanya sebagai
saluran yang sekedar mengesahakan transaksi konvensional yaitu hutang,
pendapatan, dll. Fungsi asset adalah adalah sebagai pengaman dan penjamin,
dimana ia seluruh transaksi penjualan maupun pembiayaan harus berdasarkan pada asset.
Prinsip kepatuhan syariah mengaharuskan atas kepemilikan pada asset yang
menjamin. Asset yang dijadikan objek pun haruslah bersifat halal, atau yang
tidak dilarang oleh syariat. Selain itu, prinsi bagi hasil merupakan sarana
pendistribusian keuntunan dalam prinsip ekonomi islam, yang jelas berbeda dari
riba atau bunga.
Sumber :
Arifin,
M. & Mikail, S.A. 2013. A Critical Study on Shari‘ah
Compliant and Shari‘ah Based Products in Islamic Banking Institutions. Journal
of Islamic and Human Advanced Research, Vol. 3, Issue 4, April 2013, 168-189
admin : Fina